Permasalahan Pengembangan Produksi Semen di Indonesia

I.  Masalah Bahan Baku.

Bahan baku semen adalah batu gamping, tanah liat, pasir silica dan pasir besi.  Bahan baku tersebut sebelum UU Minerba No. 4 Tahun 2009 disebut bahan galian golongan C dimana izin eksplorasi dan eksploitasinya dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II (Kabupaten & Kota), tidak ada kesulitan dalam memperoleh izin setelah UU Minerba No.4 tahun 2009, timbul masalah pada bahan baku semen karena dikategorikan sebagai mineral bukan logam, masalah tersebut antara lain;

  1. Umur izin usaha pertambangan yang hanya 5 (lima) tahun kecuali batu gamping boleh sampai 20 (dua puluh) tahun, hal ini menjadi masalah karena umur pabrik semen yang visible minimal 20 (dua puluh) tahun, sehingga investor ragu-ragu tentang keterjaminan bahan baku untuk mendukung produksinya.
  2. Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengelolaan tambang hanya diperbolehkan oleh perusahaan tambang, padahal pabrik semen adalah perusahaan industri dan kegiatan penambangan hanya tidak bagian dari kegiatan industrinya, sehingga tidak ekonomis kalau dikerjakan oleh perusahaan terpisah dari pabriknya (integrated plant).
  3. Dalam Undang-Undang ditentukan bahwa kegiatan penambangan harus didivestasi setelah 5 tahun, peraturan ini mengkhawatirkan investor asing karena pabrik semennya juga akan didivestasi.
  4. Dalam PP diatur bahwa kegiatan penambangan tidak boleh dikerjakan oleh pihak ketiga, padahal di beberapa pabrik semen kegiatan penambangan lebih ekonomis kalau dikerjakan oleh pihak ketiga.

II. Masalah Teknologi Pembuatan semen:

Pabrik semen yang  ada di Indonesia sekarang sudah menggunakan teknologi pembuatan semen yang mutakhir dimana emisi debu dan air sudah bisa dikontrol sesuai dengan peraturan yang ada, penggunaan tenaga listrik dan bahan bakar yang cukup efisien bahkan di beberapa pabrik telah memanfaatkan limbah untuk melindungi lingkungan dan mendukung program pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca harus dibuat peraturan untuk pabrik semen supaya memilih teknologi yang mutakhir terutama untuk pemohon ijin baru mendirikan pabrik semen.

III. Masalah distribusi dan logistik.

Semen adalah produk yang ‘bulky’ (produk yang volumenya besar dan berat) sehingga biaya distribusi sangat mempengaruhi harga jual. Kondisi sarana dan prasarana untuk angkutan darat dan laut dibanyak tempat di Indonesia belum memadai sehingga harga semen dibeberapa daerah cukup tinggi karena dibebani biaya distribusi, sebagai contoh angkutan darat dan prasarana jalan terutama di luar Jawa belum memadai untuk distribusi semen sehingga biaya angkutan darat menjadi tinggi, yang mengakibatkan langkanya semen dengan harga terjangkau di daerah tersebut, angkutan laut terutama pelabuhan-pelabuhan yang belum memadai sehingga besarnya kapal yang bisa merapat terbatas pada kapal-kapal kecil dan kecepatan bongkar muat yang lambat menyebabkan tingginya biaya angkutan laut bagi produk semen. Semen dikategorikan sebagai komoditas yang bukan prioritas sehingga selalu ditunda bongkar muat kapalnya bila ada beras atau pupuk masuk ke pelabuhan.

 

IV. Masalah penggunaan waste.

Untuk mendukung program pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca Industri semen mengembangkan teknologi pengolahannya dengan menggunakan waste dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu menyelesaikan masalah waste yang terjadi masalah yang timbul dalam pemanfaatan waste ini adalah:

  1. Penggunaaan waste untuk bahan bakar terutama waste yang dikategorikan sebagai B3 mengalami kesulitan karena tidak ada peraturan khusus untuk pabrik semen yang menggunakan waste B3 sehingga memudahkan pabrik pabrik semen dalam menggunakan waste B3 dengan aman.
  2. Penggunaan waste dari power plant seperti fly ash sebagai bahan baku pembuatan semen dengan mudah karena fly ash dikategorikan sebagai B3, padahal kemampuan pabrik semen untuk menyerap fly ash sebagai bahan baku sangat menguntungkan bagi power plant dalam mengatasi pembuangan wastenya.

 

V. Masalah harga batubara domestik.

Dengan dikeluarkannya peraturan menteri tentang indeks harga batubara dimana produsen batubara tidak mau menjual batubara didalam negeri dibawah indeks harga karena akan dibebani biaya royalty yang dihitung sebagai presentasi dari indeks harga. Akibatnya ‘bargaining power’ dari industri semen didalam negeri sangat rendah. Meskipun ada program DMO tetapi tidak ada kemudahan dalam menawar harga bagi produsen dalam negeri.

Sebagai produsen semen didalam negeri yang telah melakukan investasi dalam jumlah yang besar dan telah membuka lapangan pekerjaan cukup banyak, perlu diberikan perlindungan terhadap serbuan produk import dari luar negeri, produsen dalam negeri membeli batubara yang harganya dengan produsen pesaing diluar negeri, sehingga produsen di dalam negeri tidak dapat menikmati batubara yang diproduksi di Indonesia, sehingga biaya produksinya akan relative sama dengan biaya produksi pesaing di luar negeri. Hal ini menurunkan daya saing produsen dalam neger dipasar domestik apalagi dipasar internasional, untung produk semen sudah diberlakukan SNI Wajib, sehingga semen impor tidak mudah diperdagangkan di Indonesia.

VI. Masalah tenaga listrik.

Tenaga listrik untuk pabrik semen di Pulau Jawa sebagian besar di supply oleh PLN, hanya Indocement (ITP) yang mempunyai power plant untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan listriknya.

Untuk pabrik semen diluar Jawa PLN tidak bisa menyediakan tenaga listrik, maka semua pabrik mempunyai power plant untuk kebutuhannya sendiri ada yang sepenuhnya ada yang sebagian. Tetapi karena PLN kekurangan tenaga listrik maka operasi pabrik semen tidak lancar. Kurangnya supply listrik diluar Jawa menyebabkan investasi pabrik semen di luar jawa lebih tinggi.

sumber: Asosiasi Semen Indonesia.

Industri Semen Minta Standarisasi Teknologi Segera Diterapkan

Industri semen nasional meminta pemerintah segera menerapkan
standarisasi teknologi produksi semen guna menjaga kualitas produk setiap produsen semen. Urip Trimuryono, Ketua Asosiasi Semen Indonesia, mengatakan penerapan standarisasi akan menjaga efisiensi produksi, baik dari sisi penggunaan mesin, energi, hingga emisi gas buang.

“Aturan standarisasi teknologi untuk mesin semen tersebut sudah di bahas bersama dengan Kementerian Perindustrian. Kementrian Perindustrian sudah tahu mesin seperti apa yang cocok untuk Indonesia,” katanya kepada IFT.

Menurut Urip, rencana penerapan aturan standarisasi teknologi ini seiring dengan kekhawatiran masuknya mesin produksi semen dari China berteknologi rendah. Apalagi di China sendiri, mesin tersebut sudah di tolak penggunaannya oleh pemerintah setempat.

Salah satu perusahaan semen yang menggunakan mesin asal China adalah Lafarge untuk pabriknya di Nangroe Aceh Darussalam. Hingga kini, mesin tersebut belum juga berproduksi, padahal pembangunan pabrik sudah masuk tahun ketiga. Idealnya dua tahun setelah pembangunan pabrik, akan mesin produksi sudah mulai beroperasi.

Selain Lafarge, pabrik Semen Kupang yang berada di Kupang juga sudah selesai pembangunannya 10 tahun yang lalu, namun sampai sekarang belum bisa berproduksi karena menggunakan mesin China.

“Walaupun tidak di atur, sebetulnya yang mempunyai pabrik bisa melihat. Kalau membeli mesin dari China kemudian rusak, mereka yang rugi,” tuturnya.

Panggah Susanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, sebelumnya mengatakan pemerintah akan mengeluarkan aturan standarisasi untuk level teknologi pada industri hulu semen paling lambat semester II 2011.

Peraturan ini sedang di persiapkan guna efisiensi industri hilir serta memperkuat daya saing untuk industri. Sebab jika industri hulu teknologinya tidak efisien, boros energi, dan tidak ramah lingkungan, maka akan mempengaruhi efisiensi industri hilir. Sehingga teknologi di industri hulu perlu diseleksi dengan satu standar teknologi yang efisien.

“Prioritas pertama adalah standarisasi level teknologi untuk industri hulu. Industri hulu menjadi prioritas karena industri hulu akan menentukan efisiensi industri hilirnya,” ujar Panggah.

Menurut dia, aturan ini sangat penting untuk industri di hulu, karena jika hulunya berkembang, maka hilirnya juga akan berkembang. Apalagi bahan baku tambang di Indonesia berlimpah, sehingga dapat mendukung perkembangan industri hilir.

Regulasi dalam bentuk peraturan menteri perindustrian tersebut nantinya akan mengatur industri hulu strategis, seperti baja, semen dan petrokimia.

sumber : indonesiafinancetoday.com